Sunday, September 29, 2013

[Berani Cerita #29] Rokok Terakhir

"Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka bertaubatlah atas kesalahan-kesalahanmu. Jangan berpikir untuk menunda-nunda taubat, tidak ada yang pernah tahu kapan kita akan mati." 

Sudah menjadi ritualku untuk melaksanakan shalat tepat waktu setiap asar, karena aku begitu terpesona dengan ceramah ustad yang karismatik ini.

"... setelah taubat ya jangan diulang lagi. Misalnya setelah bertaubat karena mencuri ya barang di kembalikan ke pemilik dan meminta maaf."

"Kalau merokok Ustad? Apa harus minta maaf ke semua yang sudah menghirup asap rokoknya supaya diampuni? Hii …, mau bagaimana minta maafnya kalau asapnya beterbangan ke mana-mana. Apalagi kalau yang menghirup asapnya sakit kemudian mati."  Suara perempuan itu membuat para jamaah laki-laki menoleh ke belakang.

Mukaku mengencang,  “Perempuan menyebalkan, membawa-bawa rokok segala!” desisku sambil meninggalkan mushala, aku tak mau mendengar apa jawaban Ustad kali ini.

******

credit

Tuesday, September 24, 2013

Menantuku

"Baik Mas Her, sampai jumpa di Jakarta," 

Lelaki itu, aku mengenalnya dua tahun lalu dalam penerbangan Jakarta-Jerman. Seorang duda cerai, yang berhasil membuatku, jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia melamarku sebulan lalu.

********

"Ibu jangan lupa kita ada perbedaan waktu 5 jam. Tetamu yang kita undang sebagai saksi sebelum jam 11 siang supaya di Jakarta ijab bisa dilaksanakan jam 4 sore." Suara anak lelakiku membuyarkan lamunanku.

Persiapan pernikahan anak lelakiku ini benar-benar membuatku lelah secara mental. Sebagai ibu tunggal dengan anak tunggal itu membuat segala macam hal harus dilakukan sendiri. Hal terburuk pasporku hilang hanya seminggu sebelum kepulangan kami ke Indonesia. Yudi dan Dina bersikukuh tetap melangsungkan pernikahan sesuai dengan jadwal walaupun harus menggunakan bantuan teknologi.

Sunday, September 22, 2013

Prompt #27 Harum Melati di Malam Pertama

"Bang, bantuin Dewi mengepak baju-baju ya, badan Dewi sudah pegal-pegal. Tapi jangan asal, Dewi tidak mau baju-baju ini kusut." Dewi  masuk sambil membawa setumpuk pakaian yang sudah terlipat rapi.

Rumah orang tua Dewi saat ini sudah mulai sepi seteleh 4 hari lamanya ramai dengan hiruk pikuk sanak kerabat yang menghadiri acara pernikahannya. 

"Bang, apa mesti kita pindah hari ini? Kata Simbah rumah yang akan kita tempati auranya masih jelek, sudah lama kosong pula. Apa tidak menunggu Simbah membawa orang pintar dulu? Kalau nanti ada jin yang mengganggu bagaimana dong Bang?" kata Dewi dengan nada cemas.

"Aduh neng geulis, cintanya Abang, berdoalah sayang, supaya tidak ada hal-hal buruk. Lagian Abang mana tahan tidur di luar pisah sama istri Abang. Kamar di rumah ini cuma tiga, kapan dong malam pertama kita." Thoyib mengerling penuh godaan." Lagi pula rumah itu memang sudah kita bayar kontrakannya sejak sebulan lalu, malah sudah kita isi dengan sedikit perabot, supaya cocok buat kita berbulan madu."

"Aduh Abang ini genit sekali!" Dewi melempar bantal tepat ke muka suaminya sambil tersipu malu.

*******

"Thoyib,  mbok mengko telung dino maneh sing pindah, nunggu koncone Simbah. Kabare omahmu kae sok ana mambu wangi-wangi sing aneh nek wayah wengi," bujuk Simbah menahan keberangkatan cucu menantunya.

Thoyib menggelengkan kepala. "Mboten Mbah, nyuwun pandonganipun kemawon."

"Bang Thoyib sudah nggak tahan Mbah. Sudah hari keempat tapi belum juga bermalam pertama." Goda Ipang adik Dewi.

"Tapinya rumah itu kan masih angker…”

Bidadara seperti Aktor di Koran

Untuk prompt #26 Monday Flash Fiction

Matahari sudah mulai condong ke barat, pasar sudah mulai sepi. Seperti biasa pak tua, kuli panggul pasar itu, pasti akan mampir ke warung kecilku untuk membeli segelas teh manis dan sebatang rokok sambil bercanda denganku. Tapi tidak kali ini, dia membawa setumpuk koran dan memilih duduk di pinggr emperan depan warungku.

Photo koleksi pribadi Rinrin Indrianie

"Tehnya Nduk!" Dibukanya lembar demi koran dan ditatapnya dengan seksama.

Sambil mengaduk teh pesanannya kupandang "Baca apa pak, serius sekali?"

"Bapak tidak bisa membaca Nduk, bapak buta huruf." Senyumnya mengembang di wajahnya.