Monday, October 7, 2013

[Berani Cerita #30] Doa Ijah



credit
Siang menjelang, matahari bersinar sangat garang, stasiun kereta ini masih lengang. Jadwal kereta pagi sudah lama berlalu, kereta siang hanya akan lewat 1.5 jam lagi. Aku berjalan menghampiri bangku di tengah peron, selalu ada saja penumpang kereta yang meninggalkan sampah begitu saja. Kupungut botol mineral dan kotak makanan yang berserak di lantai. Ada dua potong roti tersisa di situ, kotor tercampur tanah.

"Ya Allah, kumohon sabarkan aku ya Allah, ada yang menyia-nyiakan rejekimu saat yang orang lain kesempitan rejeki." Suara di perutku terdengar, seirama dengan alunan lagu-lagu keroncong di speaker stasiun. 

"Mak tolong sekalian angkat sampahnya kemari ya!" Panggilan Ijah sesama cleaning service stasiun membuyarkan lamunanku.

"Ya, sebentar!" Aku angkat plastik sampah ke arah Ijah berdiri. Aku berpapasan dengan beberapa penumpang mulai berdatangan, baunya harum. Senyum tipisku mengembang.

"Kenapa Mak senyum-senyum sendiri? Ketemu artis ganteng ya?" tegur Ijah.

"Oalah Jah, aku ini senyum karena jaman berubah, hanya dua yang tetap, bangku tua di tengah peron sana yang belum juga diganti, dan bau kita yang tetap apek," sahutku sambil terkekeh. 

Ijah ikut terkekeh sambil mengelus-ngelus perutnya.

“Kenapa Jah dengan perutmu?”

“Lapar Mak, sudah dua hari aku hanya makan sepotong ubi tiap pagi dan minum 3 gelas air supaya kenyang.”

“Makanya Jah berdoa sama Allah supaya dikasih rejeki, siapa tahu ada penumpang yang berbaik hati memberimu makanan.”

“Emak sudah berdoa?” tanyanya.

“Selalu Jah, Emak selalu berdoa.”

“Emak sekarang nggak lapar ya, gaji cukup buat makan? “ tatapnya penuh rasa ingin tahu.

“Ya masih lapar Jah, gaji masih ndak cukup. Tapi tetap berdoa saja, siapa tahu hari ini doa Emak dikabulkan. Aamiin,” sahutku mantap.

“Nggak boleh stop berdoa ya Mak. Ya sudah aku berdoa saja supaya kuat, supaya dapat rejeki.”

Aku tersenyum melihat Ijah menunduk, dia berdoa dengan khusyuk. Aku melangkah pergi ketika kulihat ada seorang penumpang melambaikan tangan ke arahku.

“Mak, tolong bantu saya angkat kardusnya ya, tolong angkat ke depan jalur dua.” Seorang perempuan cantik, berbaju bagus meminta jasaku.

Aku mengangguk dan segera bergegas mengikutinya. “Perlu saya bawakan masuk kereta Bu?”

“Tidak perlu Mak, sampai disini saja. Oh ya, ini ada nasi bungkus untukmu Mak.”

“Alhamdulillah, terima kasih Bu.” Mataku berbinar, kumasukkan uang ke saku dan kutimang nasi bungkusnya.

Aku kembali ke tempat Ijah, disana kulihat dia bersama anaknya yang sedang menangis.

“Kenapa Jah dengan anakmu?”

“Dimarahin gurunya Mak, belum bayar SPP.”

Aku menghela nafas, kurogoh uang yang kuterima tadi, kuangsurkan kepadanya, juga nasi bungkusnya. Rupanya doa Ijah dikabulkan Allah, sedang aku masih harus bersabar lagi.
  

405 words

3 comments: